Aku tidak yakin Raksasa adalah teman khayalan, bahkan ketika aku beranjak dewasa, raksasa terasa nyata dalam benak ini.
Baru kali ini aku bisa menumpahkan semua cerita yang ibuku pun tidak tahu.
Sampai detik ini aku masih mencari Raksasa di setiap pasar malam yang kini makin langka.
Masalahnya, Google saja tidak bisa menemukan Raksasa, apalagi aku yang clueless ini.
Pertemuan pertama kali dengannya saat ada pasar malam di dekat rumah. Dia tiba-tiba datang melewatiku.
Aku terkejut, ada sosok yang begitu besar hingga leherku terasa pegal karena mendongakkan kepala terlalu lama dan yang kulihat hanya dagu bulatnya.
Dia menoleh ke arah ku, membungkuk, lalu bertanya. "Apa masalah mu?"
Bukannya takut, aku malah menantangnya. "Tidak ada." Jawabku sambil bertolak pinggang.
Dia tertawa. Aku ingat betul pertemuan itu, dalam waktu setengah jam, kami langsung akrab.
Sejak itu Raksasa menjadi sahabatku, menemaniku berpetualang.
Namun, hari kelabu tiba. Bapak dan ibu bercerai. Aku harus pergi jauh dan tidak akan lagi bisa bertemu Raksasa.
Hari itu, aku memilih tinggal bersama bapak dan raksasa bertambah besar, padahal kemarin aku masih bisa melihat raut wajahnya, tapi kini, yang kulihat hanya dagu.
Hingga akhirnya bapak mengajakku pindah ke rumah yang tak jauh dari Bandara Soekarno Hatta.
Sebuah komplek hunian para pekerja dari bandara. Untuk kali pertama aku bertemu anak-anak seusiaku, mereka anggap aku yang paling lemah karena aku yang paling kecil.
Anak umur enam tahun yang kebingungan itu pada suatu ketika dibenci anak-anak satu komplek.
Sepulang sekolah, dia diajak tiga temannya ke hutan di belakang komplek perumahan itu.
Mereka bilang: “Hari ini kita berpetualang, ada istana ular di sana, kita akan masuk dan mengalahkan ular-ular di sana.”
Aku malas sebenarnya, karena tidak terlalu suka bergaul dengan mereka, tetapi datang ke istana ular? Menantang sekali.
Dengan seragam sekolah yang masih bau matahari, kami melewati jalan setapak, pohon beri, semak belukar, dan rumput-rumput tinggi itu sempat menyabet tanganku.
Sampailah kami di depan istana ular. Sebuah bangunan persegi dengan cerobong asap. Tanaman rambat menutupi dinding hingga menjulur ke cerobong asap.
Pintu bangunan itu terbuat dari besi, salah satu dari mereka membuka slot kunci yang berkarat hebat.
Tiba-tiba mereka bilang “Kamu masuk duluan, supaya kamu resmi masuk geng kami.”
Hey, siapa bilang aku mau masuk geng mereka?
Lebih baik aku kembali ke rumah. Aku menolak dan langsung membalikkan badan, mereka memegang tanganku, mendorongku masuk.
Tiba-tiba pintu besi itu ditutup dan aku dengar suara slot kunci bergeser.
“Apa ini? Tolong buka pintunya!” Aku teriak sekencang-kencangnya di ruang yang tampaknya membuat suara ku bergema hebat.
Dari luar yang ku dengar adalah suara langkah kak, makin lama makin jauh.
Apa tujuan mereka.
Aku melihat jarum jam tangan yang bisa menyala dalam gelap. Pemberian ibu saat dia mengucapkan berpisah dengan bapak.
Tidak terasa aku sudah duduk di sana selama lima jam. Hari mulai gelap, lubang kecil di tembok yang jadi satu-satunya sumber cahaya sudah tidak bisa diandalkan untuk menerangi seisi ruangan.
Namun, aku masih punya korek api. Di dalam tas, korek yang aku bawa ke mana-mana agar bapak kesulitan mencari korek untuk membakar rokoknya.
Beberapa buku pelajaran yang membuat tas terasa seperti membawa batu bata, akhirnya kukorbankan. Untuk ku bakar, sebagai sumber penerangan. Dari cahaya api itulah bayanganku nampak begitu besar, jemariku mulai bermain membentuk burung, anjing dan ular.
Sudah semakin malam dan dari ujung ruang sesuatu berdesis, suaranya makin mendekat.
“Rupanya hanya anak kecil, mana kenyang.” Desisan tadi berubah menjadi suara yang menggema.
“Siapa kamu?” Aku menyeret tubuhku hingga merapat ke pintu besi.
Sosok itu keluar dari sudut tergelap di ruangan, membumbul perlahan-lahan.
“Aku adalah raja ular yang saban hari mengintip dari lubang di ujung cerobong asap.”
“Aku mengintip teman-temanmu yang sering ke sini tapi tidak pernah berani masuk ke dalam.”
Dia mendesis lagi, meliuk ke arahku.
Aku mendobrak pintu, membanting badanku sekerasnya.
Rasanya sakit sekali. Dalam hati, aku meraung meminta pertolongan Raksasa.
Raja ular hampir melahapku, mulutnya terbuka lebar, aku sampai dapat mencium aroma aneh dari mulutnya. Mulut sebesar badan ku yang bisa melahapku dalam sekali kedip.
Aku berpasrah hingga akhirnya, tangan gempal itu datang dari sudut ruang lainnya. Raksasa datang!
Ruang redup berbau apek itu terisi penuh oleh Raksasa. Dia harus membungkuk agar kepalanya tidak terbentur langit-langit.
Hanya dengan satu pukulan, Raksasa berhasil membuka pintu.
Dia membopongku hingga keluar dari hutan rawa itu, lalu menurunkanku.
Api membumbung menjalar hingga membakar tumbuhan rambat yang menempel di atas permukaan cerobong asap.
Aku baru sadar, buku-buku yang sempat dibakar tadi masih membara.
Raksasa berpamitan, setelah mengantarkan aku pulang sampai di gerbang rumah.
Itu pertemuan terakhir diriku dengannya. Hari-hari berikutnya bapak menyuruhku mengepak barang, dia bilang aku harus tinggal bersama bude di Jakarta, karena menurut bapak, tempat itu bukan lingkungan yang baik bagi diriku bertumbuh.
Aku ceritakan perundungan yang terjadi kepadaku, bahwa bapak tidak bisa menuntut apa-apa kepada orang tua mereka karena mereka atasan bapak. Dia hanya bilang, “Kita orang baru di sini, harus mengalah.”
Dia menggenggam tangan mungilku, menuntunku jalan ke mobil yang terparkir di depan rumah.
Para tetangga menoleh, menyaksikan adegan itu, seolah aku adalah anak setan yang membakar setengah hutan rawa beberapa malam sebelumnya. Tanpa tahu bahwa anak itu telah dirundung oleh para begajul, anak manja yang dihadiahi Tamiya pada hari ulang tahunnya dan berbangga hingga tidak pernah sekalipun meluncur di arena.
Itu kejadian 30 tahun lalu, aku berdiri tepat di depan ‘Istana Ular’. Bangunan itu dahulu adalah tempat pembakaran sampah, tetapi tidak pernah digunakan.
“Nantang, Nantang kan?” Sebuah suara memaksaku membalikkan badan.
“Iya? Siapakah kau?” Tanyaku.
“Aku, Raksasa.” Jawab sosok itu yang kini berdiri tepat di depanku.
Aku menangis terlalu bahagia, Raksasa yang selama ini kucari ada di hadapanku. Tinggi dan besarnya sama denganku sekarang.
Aku akan menceritakan kepadanya, setelah aku dititipkan bapak ke mana-mana, setelah bekas luka sabetan rotan menjadi permanen hingga dewasa, luka robek di dagu bekas ujung sendok yang tajam, hingga kejar-kejaran dan dilarikan ke ujung dunia.
Sepertinya bercerita sambil minum kopi hangat dan mendengar lagu Small Child dari Archie Roach akan lebih seru.
—Bersambung—
*Nantang adalah nama kecil saya
This exciting sequence highlights a free games feature that is triggered by six or more gold symbols. Capture a gold symbol in a pink frame and a 500x or 750x complete guess is awarded. At the end of the bonus, any position with a green, silver or pink frame is changed with a firecracker symbol, providing the opportunity to receive as much as} a 7,500x guess 코인카지노 multiplier with a triple firecracker symbol.
ReplyDelete