8 April 2022
Hari ini meminta izin (awalnya) masuk setengah hari lanjut kerja sore. Karena saya perhitungkan melanjutkan pekerjaan adalah distraksi yang baik atas kedukaan, tapi tetap tak bisa.
Pagi hari saya mendapat kabar, bapak meninggal. Memang darahnya tak mengalir di dalam tubuh saya, tetapi dia yang menyiapkan saya menjadi petarung hebat di ring tinju bernama; Kenyataan.
Berduka itu butuh energi yang luar biasa besar. Seharian menangis tak berkesudahan. Semua makanan terasa hambar.
Rasanya sakit sekali tidak ada kesempatan untuk berpamitan.
Akumulasi dari rasa kecewa dan sedih, membuat saya lemas seharian.
9 April 2022
Keesokan harinya, Energi saya sudah terkumpul untuk mengungkapkan kedukaan di media sosial. Sebenarnya tidak ingin begitu, tetapi ketika orang di sekitar saya tahu bahwa bapak saya meninggal, ya rasanya satu hal mengganjal sudah hilang.
I was thinking “Oh, begini ya, meski nggak kenal mereka tetap mendoakan bapak.” Empati itu dimiliki kebanyakan orang di sekitar saya, bahkan beberapa ada yang menawarkan diri untuk jangan sungkan bercerita jika ada unek-unek.
Saya merasa lebih baik secara emosional dalam tiga tahap: Berduka hingga energi habis-mengisi energi-(harus) menerima bahwa yang hidup akan mati.
Di sela-sela itu semua, terdapat area di dalam kepala yang tidak boleh dimasuki: Jangan mendramatisasi apapun yang berhubungan dengan orang yang sudah meninggal.
Untuk itu, sebagai distraksi agar tidak drama, saya ambil cruiser skate, pakai pelindung, karena mungkin luapan emosi yang tersisa masih ada dan badan tidak bisa dikontrol.
Meluncur di tengah udara malam, angin dingin menyentuh badan, menjatuhkan keringat yang menggantung di dahi, dan lalu…rasanya lepas.
Setiap orang punya cara untuk melampiaskan emosi dan dukanya, lewat apa yang saya alami, mungkin bukan cara terbaik.
Adik saya bilang, “I am emotionally prepared for this.” Dia ada benarnya.
And this is sentimental moment…
Tahun lalu bapak sempat berpesan untuk menyimpan kemeja batiknya. Saya yang tidak terlalu suka memakai kemeja batik karena terlalu ‘bapak-bapak’ hampir saja menolaknya, biarkan itu berada di lemari pakaian.
Namun tetap saya bawa dan tergantung di lemari pakaian apartemen saya. Dia berpesan, kira-kira begini: “Saya udah kasih kamu bekal untuk jadi dewasa, temuilah bapak kandungmu, perbaiki hubungan kalian.” Saya turuti keinginannya.
Dan seharusnya saya bisa sesiap adik saya untuk melepas kepergian papa.
Yang hidup akan mati.
Lewat kepergiannya, sekali lagi, saya merasa re-discovering diri saya, fase saat memasuki usia 30an dan diberikan kesempatan untuk tahu, cinta, terhadap diri sendiri.
Comments
Post a Comment