Skip to main content

Posts

Cerita Terbaru

At the end of pandemic? A moment of new fresh air?

Ada di pertengahan film menuju klimaks atau ketika akhir di sebuah cerita ketika si tokoh utama memulai babak baru hidupnya. Dia berjalan dengan sangat meyakinkan meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.  Karena itu film dan dengan sengaja saya sering mencari momen new fresh air itu. Movies I watched did a great job to manipulate my inner child to find my own new fresh air moment. I did it everytime I have new project and finished, again and again, it was like a pattern of my work cycle.  A bit new fresh air isn't? Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa PPKM sudah dicabut, seharusnya menjadi momen 'a new fresh air' tapi bagi saya kok terasa hampa. Ada perasaan aneh ketika mengingat betapa pahit dan sekaligus manis kehidupan yang saya alami pada 2020 lalu.  Sepulang dari Taiwan pada Februari 2020 lalu, saya baru memahami bahwa pandemi global ini adalah kenyataan yang saya harus terima. Penyakit misterius yang belum ada obatnya dan seketika dunia menjadi sepi.  B
Recent posts

Setelah ini, apa?

Foto di atas adalah seorang kakek yang mengantre oksigen pada Juni 2021.  Puncak kasus Omicron digabung dengan kecemasan bersama yang dialami orang-orang sedunia, jadilah: Breakdown moment.  Thinking back on earlier time when July 2021 marked as the most breakdown moment for me to report about the peak of Omicron cases in Jakarta.  Since March 2020, everything looks hazy. We did everything to keep (or to be) alive.  And that sounds crazy when we remembering what kind of wacky acts we did to minimized the risks.  And I put a trust on hand sanitizer rather than the minister who speaks, because from what we learn trough dark momentum since 2020, I think government has failed in term of communicate with its people eventhough they have all resources to do so.  Every country is on a race to handle this global pandemic, some have done what they were supposed to do, and some of them get a bumpy road, we can (finally) get rid of it, in a time when most of countries except China have

Vaksin wartawan: Pembicaraan yang tidak nyaman

pagi ini saya adalah wartawan ke-704 yang divaksin. Padahal masih pukul 09.30 WIB.  Perasaan campur aduk saat menerima vaksin. Satu sisi merasa terberkati, sisi lainnya, serius merasa bersalah.  Para wartawan mengunggah foto dan video saat mereka divaksin. Saya percaya, tujuannya baik. Mereka adalah teman-teman sesama jurnalis yang setiap hari bekerja dan berinteraksi dengan banyak orang.  Tujuannya (mungkin) agar orang-orang di luar sana percaya, bahwa salah satu jalan menyudahi pandemi ini adalah dengan vaksinasi. Jadi unggahan di sosial media menandakan euphoria vaksinasi sukses di kalangan wartawan. Rasanya ada yang mengganjal. Saya termasuk wartawan yang mendaftar vaksin bersama teman-teman jurnalis lainnya di media tempat saya bekerja, meski tidak masuk dalam daftar. Setidaknya saya berusaha untuk melindungi diri dan orang lain. Yang mengganjal itu, apakah pantas saya mengunggah proses saat saya divaksin meyakinkan publik bahwa vaksin itu aman? Dan akhirnya dapat vaks

Apakah masih ada senyum terselip di balik masker kain Anda?

Sesudah virus corona, lalu apa? I've asked this question over and over again inside my head. What if we never get back to our ordinary life before pandemic? Karena makin lama, lingkungan di luar sana seperti planet lain bagi saya.  Setiap minggu level stres naik, bukan saya sendiri yang mengalaminya, tapi semua orang. Jika pada pekan lalu mereka yang saya temui di jalan masih enak diajak ngobrol, kali ini, semua menatap bak kriminal. Saya menghabiskan waktu di rumah sekaligus bekerja. Dalam seminggu, hanya sekali keluar untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Sehari sebelum ramadan, saya meliput masjid dekat rumah. Awalnya semua baik-baik saja, saya sapa marbot dan dia mengizinkan saya meliputnya. Cerita yang ingin sekali saya dengar adalah para marbot yang nelangsa kala ramadan. Jika tahun lalu jamaah salat tarawih berbaris-baris hingga menyesakkan seisi masjid, kini ibadah itu ditiadakan.  Gerbang depan masjid dalam keadaan terkunci, kain penutup dipasang di teras masjid

Pergi dan sembuhkan patah hati

Oh, toxic society, you're legit to preach. Oh, anxiety, who I am to be. Dua hal itu dan beberapa masalah yang mengganjal di dalam pikiran bisa jadi the first world problem: city people problem. Jadi saya ambil libur seminggu penuh menghindar dari kota dan pergi menyendiri. Buat apa? menekan ego yang teramat tinggi di tengah semua kegilaan ini. Berawal dari Google maps dan sedikit menjelajah media sosial. Saya temukan tempat yang begitu sempurna untuk menyendiri. Desa Argosari di Lumajang. Dari sana, saya putuskan untuk membangun tenda di puncak B30. Sendiri. Dari bandara, taksi, terminal, angkutan kota, bus dan terakhir ojek, semua bertanya: "Sendirian naik gunungnya?"  "Iya, lebih enak, nggak berisik," sebisa mungkin saya jawab. Jadi mereka juga bisa beralasan untuk menyudahi pertanyaan lanjutan. Malam itu saya menginap dahulu di Wahyu Homestay, Desa Argosari, agar besoknya punya tenaga bua

Detoks Sosmed di Luang Prabang

Foto: Zeeta #bijimotret Jangan salahkan hujan jika dirimu basah. Itu hanya tetesan air yang jatuh dari langit. Maka, nikmatilah. Luang prabang memberikan banyak pelajaran untuk saya sebagai generasi milenial, di sana muncul satu pertanyaan: Apakah kini hidup saya dikendalikan media sosial? Medium kita untuk berteman dan tak jarang mencitrakan diri. Hidupmu bukan sekadar album foto di instagram. Kalau dipikir, sekarang kita sibuk melabeli diri kita sebagai apa, sementara di ujung sana ada yang sibuk melabeli orang lain. Kucingnya tak mau lepas, lalu Zeeta dan Lucyanne memotret saya, kami dipotret Andreas. Potret-ception Biarlah identitasmu itu hadir karena banyak hal yang telah kamu lakukan. Take your life back! Jadikan internet sebagai fasilitas tambahan untuk mendukung kegiatanmu sehari-hari. Dipotret Zeeta, jendela dengan mosaik ini ada di kuil Wat Xien Tong. Ok, baik. Sebelum ke Luang Prabang, yang saya lakukan adalah mencari #LuangPrabang di instagram,

Katowice, kegagalan menghadapi pemanasan global

Kalau semua orang di dunia ini berhenti menggunakan listrik lalu pergi ke mana-mana jalan kaki, mungkin pemanasan global tidak akan terjadi, setidaknya untuk dua atau tiga generasi lagi. Mungkin. Nyatanya, 7,53 miliar manusia tidak mungkin tidak membutuhkan ‘energi’ setiap detiknya. Bahkan dalam keadaan tidur. Misal, saya menggunakan laptop untuk menulis blog ini, termasuk lampu dan kipas angin di kamar dalam keadaan hidup beberapa jam, saya mengeluarkan energi yang dihasilkan dari…ehm, batu bara di PLTU.  Berapa besarannya? 1 ton batu bara bisa menghasilkan 2.460 kWh. Bukan banyaknya batubara yag dibutuhkan, namun berapa banyak polusi yang dihasilkan hingga menimbulkan efek rumah kaca dan berdampak pada suhu permukaan bumi? Kira-kira jika lampu LED 9 watt saya hidupkan selama delapan jam setiap harinya saya ikut menghasilkan CO2 sebanyak 22,23 kg. kalau dikalikan 7,53 miliar, angkanya besar sekali, hutan di Kalimantan pun tidak bisa menyerap CO2 sebanyak itu.