Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2022

Overthinking: Prince Rupert’s drop

Kepalanya kuat sampai-sampai palu saja tak berani menggores ‘tetesan’ kaca cair yang mengeras, tetapi jika bagian ekornya dipatahkan, kaca yang katanya kuat itu hancur menjadi serpihan kecil.  It’s trick from royal family to another royal family back in 17th century, some kind of riddle that physic-worthy to be solved in modern age. Saya tidak akan membahas fisika. Mungkin semacam refleksi diri, bahwa manusia pada dasarnya kuat dan lemah sekaligus, bisa hancur, remuk dan luruh. Begitupun dunia ini yang dihuni enam miliar jiwa, dengan peradaban yang relatif lebih muda ketimbang leluhur kita. Umur Indonesia merdeka tak lebih tua dari Majapahit, sejarah perang dunia pertama dan kedua masih segar dalam semua buku yang membahasnya meski sudah lewat seabad, kita dan peradaban modern saat ini ringkih seperti halnya ekor Prince Rupert’s drop. Ketika membaca kembali sejarah PD I, kompleksitas di dalamnya, negara mana saja yang terlibat, bahwa Penembakan Franz Ferdinand menjadi pemicu utama PD I

Raksasa dan Istana Ular (2)

Seingatku, setelah setengah hutan rawa terbakar bapak membawaku ke rumah kerabatnya.  Aku dititipkan di sana untuk sementara waktu. Mereka keluarga bahagia, punya kasur terempuk sehingga aku betah tidur di sana sepanjang waktu. Sepekan awal, semua baik-baik saja. Sampai pada waktu diriku yang masih kecil itu, membuka tudung saji di meja makan. Menemukan abon sapi kesukaanku, lalu ku makan.  Bude dengan sangat marah melihat adegan itu dan dengan beringas memukul punggungku dengan benda keras. Rasanya sakit sekali.  Aku masih ingat sakitnya, karena sempat luka. Luka yang menimbulkan bekas kehitaman di punggungku hingga dewasa.  Pemukulan itu dilakukan terus-menerus, kadang dia atau bahkan pembantunya. Seminggu bisa tiga hingga empat kali, tergantung kadar kepatuhanku kepada mereka. Dan aku tidak pernah mengadu kepada bapak atau siapapun, karena kala itu, menurutku adalah sebuah kewajaran untuk menghukum seseorang agar lebih patuh. Seperti yang bapak lakukan kepada ibu.  Hingg

Raksasa dan Istana Ular

Aku tidak yakin Raksasa adalah teman khayalan, bahkan ketika aku beranjak dewasa, raksasa terasa nyata dalam benak ini. Baru kali ini aku bisa menumpahkan semua cerita yang ibuku pun tidak tahu. Sampai detik ini aku masih mencari Raksasa di setiap pasar malam yang kini makin langka. Masalahnya, Google saja tidak bisa menemukan Raksasa, apalagi aku yang clueless ini. Pertemuan pertama kali dengannya saat ada pasar malam di dekat rumah. Dia tiba-tiba datang melewatiku.  Aku terkejut, ada sosok yang begitu besar hingga leherku terasa pegal karena mendongakkan kepala terlalu lama dan yang kulihat hanya dagu bulatnya. Dia menoleh ke arah ku, membungkuk, lalu bertanya. "Apa masalah mu?" Bukannya takut, aku malah menantangnya. "Tidak ada." Jawabku sambil bertolak pinggang. Dia tertawa. Aku ingat betul pertemuan itu, dalam waktu setengah jam, kami langsung akrab.  Sejak itu Raksasa menjadi sahabatku, menemaniku berpetualang.  Namun, hari kelabu tiba. Bapak dan ibu bercerai.

I wanna scream

Nenek saya meninggal pagi ini. Dia di UGD selama 24 jam setelah seseorang datang ke rumahnya sambil batuk keras. Saya menimbang bagaimana bisa datang setidaknya ke pemakamannya. Tentu tidak bisa. Nenek dikubur dengan protokol ketat untuk pasien Covid-19.  Saya marah hingga ingin teriak membayangkan nenek batuk tidak bisa tidur, badannya lemas, dia bilang terasa dingin dan kemudian pingsan.  Saya nggak tega membayangkan detik terakhir sebelum meninggal, dia di ruang isolasi, berjuang.  Awalnya saya putuskan buat pulang ke rumah almarhum secepatnya mengejar pemakaman. Ternyata pemakaman dilakukan tiga jam setelah dia bernapas untuk terakhir kalinya. Akhirnya saya disarankan ibu untuk pesan tiket kereta Jumat ini. Kantor tempat saya bekerja memberikan waktu untuk berduka, tapi daripada saya berduam menunggu keberangkatan, saya putuskan untuk kerja.  Ketika bekerja, ada kata-kata di kepala: Saatnya untuk fokus dan lupakan rasa duka ini. Iya lupa dalam beberapa jam. Dan ketika sudah kembali

Melamun tentang lautan

  Dia manusia di bawah air, apakah bisa menapak tanah?Atau aku harus ke air untuk menyelam bersamamu? Manusia mengirim ‘matanya’ menembus atmosfer agar bisa melihat benda bercahaya yang acap kali mengusik rasa ingin tahunya kepada semesta. Konsep itu berawal ketika ingin melihat apa yang terjadi di bawah permukaan laut.  Dari atas permukaan laut, benda hidup di dalamnya tak pernah bisa terlihat dengan jelas sampai seseorang harus berenang menembus permukaan laut agar semua nampak lebih detil.  Jadi, tanyakan kepada dirimu, apakah kau siap mengarungi lautan luas ini denganku?  Sembari menunggumu, mungkin aku akan terus melamun di bibir pantai. Aku persiapkan diri, agar aku juga bisa menerimamu.  Kita berdua tidak akan terkalahkan.  *Tulisan ini akan ada dalam seri Porta

Menyerah kepada robusta

Jadi pilhannya begini, mau seduhan kopi robusta, atau dengan gula? Dan saya selalu memesan kopi pahit tanpa gula di perhentian dalam perjalanan lintas Sumatera. Bukan karena kafeinnya, tapi pahitnya kopi begitu menyegarkan tenggorokan. Semacam mengembalikan mood ke titik netral di tengah tantrum bosan di jalan. Di tengah energi yang tak tersalurkan akibat terlalu banyak makan gula. Separuh bagian Sumatera yang saya singgahi lekat dengan kebudayaan Melayu, kopinya pun terpengaruh gaya Kopi O yang seringnya menggunakan kopi robusta untuk disajikan.  Namun, ketika sudah menjauh dari kota, apalagi kalau bukan kopi sasetan yang terimakasih Tuhan masih ada varian tanpa gulanya.  Perhentian selanjutnya adalah tempat rehat di jalan tol, ketika satu mini market menyediakan americano dingin dengan biji kopi arabica seharga 50% lebih murah dari sbux tapi rasanya boleh diadu, jauh lebih enak.  Balik lagi ke robusta yang sangat meletup itu, ternyata kau sungguh rupawan, selama ini aku melupakanmu,

Manusia rusak

When you always have a thought you'll never be the person you want to be because of your past, a bitter memories since your brain capable to memorize every fragments of your life. Saya merasa selalu menjadi manusia rusak, benda yang tak utuh dan tidak berfungsi selayaknya sosok yang saya inginkan. Yes I do have control with everything I want. Satu hal yang tidak bisa diubah dalam hidup adalah masa lalu ketika saya dilahirkan.  Pernah dengar istilah barang rusak yang akhirnya teronggok tidak berguna? Atau barang rusak yang masih bisa digunakan tetapi tidak pernah bisa kembali lagi seperti barang baru? Itu yang saya rasakan sejak kecil. Disiksa oleh keluarga terdekat, dianggap anak tak berbapak dan beribu, dikucilkan karena tidak seperti anak-anak lain dan tidak ada yang peduli tentang eksistensi saya sebagai seorang manusia. Since then, I try harder to be happy.  I have to say, it's not easy to share your pain in public space like this, but I think I should. Desember 2021 merupa