Skip to main content

Posts

Showing posts from 2020

Cerita pandemi: Gaya sosialita yang tak mampu membeli adab

Sejak siang saya duduk di pojok kafe sepi. Bekerja dengan tenaga aglio e olio diskonan yang sudah berada di lambung.  Seliter kopi dan segelas besar es teh. Tujuh bulan terakhir ini kali ketiga saya kerja di luar rumah.  Memilih meja di luar ruang dengan sirkulasi udara yang baik, terutama sepi. Tiba-tiba lima perempuan datang, duduk tepat di meja belakang saya. Mereka nampak modern dengan dandanan bak mantan model. Memegang tas yang gaji saya pun belum tentu cukup untuk membelinya. Mereka rupawan dan terlihat bersih dengan kerut tipis khas wanita paruh baya yang berusaha disamarkan lewat produk kecantikan termahal. Peraturannya, maksimal dua orang boleh duduk di sana.  Saya terusik karena ini menyangkut keselamatan dan kesehatan bersama. Namun tak lama manajer kafe datang memberitahu mereka agar mejanya dipisah. Peringatan itu tak digubris, apalagi mereka merokok. Saya lantas keluarkan cairan disinfektan, menyemprotkan ke meja dan kursi yang saya duduki.  Mereka memandang

Apakah masih ada senyum terselip di balik masker kain Anda?

Sesudah virus corona, lalu apa? I've asked this question over and over again inside my head. What if we never get back to our ordinary life before pandemic? Karena makin lama, lingkungan di luar sana seperti planet lain bagi saya.  Setiap minggu level stres naik, bukan saya sendiri yang mengalaminya, tapi semua orang. Jika pada pekan lalu mereka yang saya temui di jalan masih enak diajak ngobrol, kali ini, semua menatap bak kriminal. Saya menghabiskan waktu di rumah sekaligus bekerja. Dalam seminggu, hanya sekali keluar untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Sehari sebelum ramadan, saya meliput masjid dekat rumah. Awalnya semua baik-baik saja, saya sapa marbot dan dia mengizinkan saya meliputnya. Cerita yang ingin sekali saya dengar adalah para marbot yang nelangsa kala ramadan. Jika tahun lalu jamaah salat tarawih berbaris-baris hingga menyesakkan seisi masjid, kini ibadah itu ditiadakan.  Gerbang depan masjid dalam keadaan terkunci, kain penutup dipasang di teras masjid

Pergi ke Taiwan & Singapura: Antisipasi virus corona saat traveling

Virus corona yang baru membuat manusia jadi 'less human' begitupun dengan saya. Pertama kalinya traveling yang seolah pergi ke tempat berbahaya. Dua pekan sebelum berangkat, saya sempat berpikir, untuk membatalkan perjalanan. Namun saat melihat perkembangan berita, kenapa harus takut? masalahnya bukan virusnya, tapi manusianya.  Terdapat puluhan orang terjangkit virus corona yang baru di Singapura dan Taiwan. Tidak ada yang meragukan kedua negara itu dalam menangani sebuah wabah. Lalu bagaimana jika tiba-tiba virus itu berkelana melalui udara dan menjangkit orang-orang seisi kota.  Maka saat masih di Jakarta, saya membeli masker setiap hari, sekaligus untuk bekal di dua negara itu, berikut dengan cairan pembersih tangan. Di Jakarta, kedua jenis benda medis itu sudah mulai langka. Begitu pula di Singapura dan Taiwan. Saya punya waktu 12 jam transit di Singapura dan saya gunakan untuk kembali menapaki Clarke Quay dari patung merlion, memotret segala kenangan masa seko

Pergi dan sembuhkan patah hati

Oh, toxic society, you're legit to preach. Oh, anxiety, who I am to be. Dua hal itu dan beberapa masalah yang mengganjal di dalam pikiran bisa jadi the first world problem: city people problem. Jadi saya ambil libur seminggu penuh menghindar dari kota dan pergi menyendiri. Buat apa? menekan ego yang teramat tinggi di tengah semua kegilaan ini. Berawal dari Google maps dan sedikit menjelajah media sosial. Saya temukan tempat yang begitu sempurna untuk menyendiri. Desa Argosari di Lumajang. Dari sana, saya putuskan untuk membangun tenda di puncak B30. Sendiri. Dari bandara, taksi, terminal, angkutan kota, bus dan terakhir ojek, semua bertanya: "Sendirian naik gunungnya?"  "Iya, lebih enak, nggak berisik," sebisa mungkin saya jawab. Jadi mereka juga bisa beralasan untuk menyudahi pertanyaan lanjutan. Malam itu saya menginap dahulu di Wahyu Homestay, Desa Argosari, agar besoknya punya tenaga bua