Skip to main content

Apakah masih ada senyum terselip di balik masker kain Anda?

Sesudah virus corona, lalu apa?

I've asked this question over and over again inside my head. What if we never get back to our ordinary life before pandemic?

Karena makin lama, lingkungan di luar sana seperti planet lain bagi saya. 

Setiap minggu level stres naik, bukan saya sendiri yang mengalaminya, tapi semua orang. Jika pada pekan lalu mereka yang saya temui di jalan masih enak diajak ngobrol, kali ini, semua menatap bak kriminal.

Saya menghabiskan waktu di rumah sekaligus bekerja. Dalam seminggu, hanya sekali keluar untuk belanja kebutuhan sehari-hari.

Sehari sebelum ramadan, saya meliput masjid dekat rumah. Awalnya semua baik-baik saja, saya sapa marbot dan dia mengizinkan saya meliputnya.

Cerita yang ingin sekali saya dengar adalah para marbot yang nelangsa kala ramadan.

Jika tahun lalu jamaah salat tarawih berbaris-baris hingga menyesakkan seisi masjid, kini ibadah itu ditiadakan. 

Gerbang depan masjid dalam keadaan terkunci, kain penutup dipasang di teras masjid. 

"Ini bukan restoran yang harus pakai penutup kala ramadan kan?" 

Benak saya kala sore sebelum maghrib tiba.

Masjid tempat saya salat jumat karena ceramahnya singkat hanya menyisakan beberapa orang di dalamnya, terlihat dari depan pagar masjid.

Mereka warga sekitar yang bertugas membersihkan masjid, membantu marbot yang kami panggil Babeh.

Babeh membuka pintu dan menguncinya kembali setelah saya masuk ke halaman masjid. 

Kala itu Babeh menyapu halaman. 

Dia, nampak cemas saat saya tanyakan "Di sinj nggak ada tarawih Beh?"

Dia jawab "Belum tahu."

Sambil menunggu maghrib, saya merekam kegiatan Babeh. Sesi wawancara rencananya akan saya lakukan selepas isya.

Saya mengenakan masker yang disediakan kantor. Namun tak ada satupun di dalam masjid itu yang menggunakan masker kecuali saya.

Dan, puluhan orang datang selepas adzan maghrib. Hingga adzan isya berkumandang, orang yang dianggap penting di wilayah itu mendatangi saya.

Mereka rencana ya akan salat tarawih berjamaah selepas isya.

Menanyakan maksud saya meliput dengan gaya interogasi seakan dunia mereka runtuh sebentar lagi.

Tatapan mereka serius, saya masih mencerna tentang kecemasan yang mereka rasakan.

Mereka marah lantaran takut viral. Bukan takut Tuhan, bukan pula takut dengan pandemi Covid-19.

Viral. Iya viral. 

Sebagian dari mereka menatap saya seakan diri saya adalah kriminal. 

"Saya teraweh di rumah aja deh," salah satu dari mereka berucap demikian. 

akhirnya yang lain membubarkan diri. Sebagian dari mereka mengepung saya. 

Jarak saya satu meter dari mereka.

Saya memberi opsi begini, "Bapak-bapak, yang saya liput adalah marbot, bukan Anda. Jika memang keberatan dengan kehadiran saya, tidak masalah, saya bisa pergi, kalau mau ibadah ya silakan, toh saya meliput yang lain."

Salah satu dari mereka biasa jadi imam. "Marbot itu orang bodoh, omongannya jelek," katanya."

"Kalau bapak saja bagaimana? Bisakah saya wawancara, sebagai imam, pasti tidak enak rasanya jika bulan ramadan yang harusnya berlomba-lomba ke masjid, jadi harus di rumah dengan jamaah sedikit seperti ini?"

"Tanggung jawab imam itu berat, satu huruf salah, jamaah juga bisa salah, tapi jangan saya, yang lain saja." 

Babeh ada di sampingnya, dia hanya menunduk. Dalam benak saya, hebat manusia ini, karena dia biasa memimpin salat, lantas yang lain hanya manusia rendahan.

Tarawih dibatalkan karena kehadiran saya.

Mereka tidak peduli dengan penjelasan yang saya utarakan. Beberapa terlihat marah.

Bahkan saat saya duduk, salah satu bapak dengan ponselnya, merekam saya. "Pak silakan jika ingin merekam, tidak usah sembunyi-sembunyi," saya berusaha tenang. 

Dia dengan lantang bilang "Oh memang, ini untuk barang bukti."

"Pak, buat apa? saya bukan maling." 

Pembicaraan sengit itu diakhiri oleh seseorang yang mengaku ustad. 

Pada akhirnya Babeh ketakutan, meminta maaf kepada saya, dia tidak ingin diwawancara jika keadaannya seperti ini. Dia takut disalahkan.

Saya coba bujuk. Dia tetap tidak mau.

Lewat kejadian ini saya pamit baik-baik. 

Bukan virusnya yang jahat, tapi manusia yang penuh dengan keterbatasan itu jadi beringas.

Dunia saya jadi tempat asing setelah hampir dua bulan berlalu.

Manusia berlomba-lomba menunjukkan kedunguannya dengan mencari segala sumber pelampiasan stresnya di tengah situasi yang serba tidak jelas ini.

Saya menyalahkan diri berkali-kali, kenapa kita semua harus menanggung beban 'jeda untuk bumi' ini bersama seluruh penduduk dunia?

Jawaban itu datang dari orang-orang yang saya hubungi bulan Maret lalu.

Lewat telepon, seorang istri terisak karena suaminya tidak dapat ditolong. Dia dan suaminya berstatus ODP. 

Suaminya kala hampir kehilangan napas pernah mencuit kepada Presiden, bahwa dia sudah pergi ke lima rumah sakit dan tidak ada tindakan. Hingga akhirnya meninggal dunia.

Ini kontras dengan keadaan pasien ketiga Covid-19 di Indonesia yang sudah sembuh dan saya wawancara sebelumnya lewat Whatsapp video call.

Seseorang duduk di ruang tunggu Terminal Kali Deres, menunggu bus jurusan Lampung. "Saya harus pulang, tidak ada uang di Jakarta, saya habis diPHK."

Atau enam keluarga dengan total 23 orang hidup dalam satu rumah di Kalianyar, Tambora. Jaga jarak bagi mereka adalah kemewahan.

Emosi saya campur aduk. Mencari beragam distraksi, tapi di luar sana realitas begitu pahit. 

Orang-orang yang saya temui bulan lalu tidak melihat saya sebagai sumber amarah.

Seorang pengusaha UMKM di Surabaya banting stir membuat masker kain gratis dan dibagikan sebanyak-banyaknya kepada mereka yang membutuhkan.

Perusahaannya hanya bisa bertahan empat bulan lagi, PHK bisa saja terjadi, maka daripada itu terjadi, lebih baik memaksimalkan segala sumber daya untuk sesuatu yang berguna.

Seorang dokter di Cirebon yang harus berhadapan dengan pasien Covid-19 cemas ketika pulang ke rumah akan menulari anak istrinya.

Seorang dokter di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran harus menahan lapar, haus dan buang air selama 10 jam, saat bertugas mengenakan APD.


Kini keadaan berubah, saya tidak tahu lagi apa yang akan terjadi selanjutnya, apakah masih ada cinta? 

Apakah masih ada senyum terselip di balik masker kain Anda?

Apakah kita bisa melewati krisis ini?

Sempat saya menjawab segala pertanyaan itu, saya harus bisa menunjukan versi terbaik diri saya...

tapi sulit.

Jika kita bisa melewati semua ini, kelak akan jadi cerita manis sekaligus tragis. 

Pandemi Covid-19 menunjukkan sejahat-jahatnya manusia, seegoisnya homo sapiens, serakusnya anak-anak Adam.

Mereka menyerok tai demi keuntungan, ketenaran dan jaminan keamanan bagi dirinya sendiri.

Namun tidak sadar bahwa dibutuhkan tindakan kolektif agar masing-masing individu bisa selamat.















Comments

Popular posts from this blog

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (1)

Dua tahun lalu, pergi ke Papua itu sangat mahal, bahkan lebih mahal ketimbang berlibur ke Jepang. Kalau bukan karena penugasan dari rapat redaksional, saya tak mungkin bisa ke sana. Saat itu saya mengejar cerita tentang kematian misterius puluhan anak di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Saya masih ingat, penerbangan dari Jakarta, transit dahulu di Makassar, berlanjut menuju Manokwari, kemudian Jayapura, dan akhirnya tiba di Wamena. Bandaranya kala itu masih tradisional. Saya gambarkan seperti terminal bus era 90an. Tapi sekarang bandara yang baru sudah dibuka, setaraf dengan bandara-bandara di tempat saya dan tim, transit sebelum sampai Wamena. Pak Nico, driver kami menjemput dengan mobil yang memiliki spesifikasi tangguh di medan pegunungan. Kami mengisi bahan bakar dahulu. 20 liter bensin, seharga 2 juta rupiah. Saya dan kedua rekan langsung terkejut. Pegunungan di sekeliling menyembul, pamer keindahan. Saya tanyakan kepadanya, apakah dia bahagia tinggal d

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (2)

Kalau dipikir, kemiringan jalannya sampai 60 derajat, saya sudah cemas, karena setelah tanjakan langsung tikungan, lalu turun curam dan berbelok di jalan yang mulai berlumpur. Apalagi yang bisa saya lakukan selain tertawa. Menertawakan hidup saya, yang jauh-jauh datang ke Papua hanya untuk menyetor nyawa. Saat itu, Trans Papua sedang dibangun. Cerita yang saya dengar, awalnya saat pembukaan jalur, TNI lah yang bergerak. Beberapa titik masih rawan. Kami sama-sama berdoa sambil bercanda di mobil. Wabah misterius itu merenggut puluhan nyawa anak-anak di Distrik Mbua. Media daring yang bagai kilat melaporkan 50an anak mati. Terlebih, saat itu sedang ramai pembicaraan tentang ebola. Persiapan kami menghadapi itu semua adalah: mengucap basmalah. Keselamatan memang jadi faktor utama. Kebutuhan logistik sudah tersedia, peralatan medis dasar juga sudah ada. Takdir membawa kami ke Distrik Mbua, untuk membukakan mata, siapapun yang ada di Jakarta. Saat mobil tiba di jalan keci

At the end of pandemic? A moment of new fresh air?

Ada di pertengahan film menuju klimaks atau ketika akhir di sebuah cerita ketika si tokoh utama memulai babak baru hidupnya. Dia berjalan dengan sangat meyakinkan meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.  Karena itu film dan dengan sengaja saya sering mencari momen new fresh air itu. Movies I watched did a great job to manipulate my inner child to find my own new fresh air moment. I did it everytime I have new project and finished, again and again, it was like a pattern of my work cycle.  A bit new fresh air isn't? Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa PPKM sudah dicabut, seharusnya menjadi momen 'a new fresh air' tapi bagi saya kok terasa hampa. Ada perasaan aneh ketika mengingat betapa pahit dan sekaligus manis kehidupan yang saya alami pada 2020 lalu.  Sepulang dari Taiwan pada Februari 2020 lalu, saya baru memahami bahwa pandemi global ini adalah kenyataan yang saya harus terima. Penyakit misterius yang belum ada obatnya dan seketika dunia menjadi sepi.  B