Skip to main content

Posts

Showing posts from 2018

Mengenang Palu, meresapi tiap meter kehancuran

Hancur semua! Hancur! Pertama kali tiba di bandara Mutuara Sis Al Jufri, air mata ini tak dapat dibendung. Kehancuran separuh bagian bandara nyata di depan mata. Saya cubit beberapa kali tangan ini untuk memastikan bahwa apa yang saya lihat bukan mimpi. Bang Eddy, sahabat saya yang menjemput. Dia telah menemani semua rangkaian liputan sejak 2016 lalu, saat isu teroris, kelompok Santoso menyeruak. Saya peluk dia, sambil menangis, seakan-akan musibah itu juga menimpa saya. "Kau belum lihat jembatan kuning sekarang?" Kata Bang Eddy. Kami akhirnya coba untuk melihat seisi kota pasca gempa. Kaki saya gemetar, bahkan ketika melihat pesisir pantai, tempat biasanya kami menghabiskan sore usai liputan. Mobil bisa-bisanya sampai ke atap rumah, bangunan di pesisir yang masih berdiri, turun sekitar 1 meter. Palu Grand Mall tempat kami menghibur diri usai liputan panjang di Poso, sebagian hancur. Padahal tahun lalu, saat tiba untuk meliput Tour de Central Cele

Kopi terakhir saat gempa Palu dan Lombok, masa tergalau dalam hidup

Karena sibuk dan sedang masa transisi pekerjaan, saya baru bisa menulis lagi. Maafkan. Cerita ini dimulai dari penugasan mendadak saat pergi meliput gempa Lombok. Saya langsung ke Landasan Udara Halim Perdana Kusuma, menumpang Hercules. Kami berangkat sore, saya tidak bawa perbekalan kecuali sebotol kopi panas. Suara mesin Hercules yang sangat bising dan para tentara yang duduk kesempitan di atas barang-barang untuk kebutuhan pengungsi termasuk tenda, buat saya stres. Saya tak bisa tidur, 4 jam paling menyiksa, kaki saya berada di antara rangka tenda pleton, tumpukan pelampung jadi tempat duduk, musik di ponsel sama sekali tak bisa membantu. Saya buka botol itu, seteguk kopi panas, menenangkan. Sampai di Bandara Praya, kami tak lantas ke daerah terdampak gempa. Tiga pleton prajurit duduk berbaris, menanti makan malam, sambil menunggu truk tronton yang akan membawa kami sampai ke Sembalun. Tengah malam, kami tiba di tenda pengungsian Kecamatan Sambelia, sepanjang perja

Misteri Wiji Kawih

Wiji Kawih sempat disebut dalam buku All About Coffee, merujuk dari Encyclopedia Britannica 1910 edisi XV, Prasasti yang dibuat pada tahun 856, menyebutkan Wiji Kawih, yang dikatakan sebagai kaldu biji-bijian dalam daftar minuman Jawa oleh David Tapperi, pada 1667, yang kemungkinan kopi. Saya terkejut setengah mati. Hampir mustahil pada masa itu kopi sudah masuk di Indonesia, karena catatan jurnal secarah para pengelana dan pedagang tidak menyebutkan kopi. Pamor kopi kala itu masih kalah dengan rempah. Prasasti tahun 856, menjerumuskan pencarian saya kepada Prasasti Shivagrha, yang saat ini berada di Museum Nasional. Prasasti itu asalah cerita tentang Candi Prambanan. Jika kita lihat lini masa kopi, Kaldi tak sengaja menemukannya kira-kira 200 tahun sebelumnya, dalam jangka waktu itu, kopi mulai dibudidayakan bangsa Arab. Pada masa yang bersamaan, saya agak skeptis, bagaimana bisa kopi yang dikatakan tanaman endemik masuk ke Indonesia? Ada banyak pikiran liar yang terbe

Belum Selesai Tentang Kopi

Halo Pembaca, Kalau wine membuatmu jujur, kopi akan membuatmu egois. Saya pernah diperingatkan agar menjauhkan ego, ketika mencari tahu seluk-beluk kopi. Secara tidak sadar, ego itu merasuki pikiran. "Mas cuppernya siapa?" "Mungkin saya kenal" saya desak terus pertanyaan itu kepada Mas Yunan, dia sedang membina Petani dan prosesor kopi di Pagur, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Dalam sebuah eksibisi kopi nusantara, Kopi asal Pagur ini menyita perhatian saya. Karena Pak Mahfus, sang petani, dengan sederhana bilang, kalau kopi yang ia tanam berjenis Ateng Super. Sesuatu yang saya tahu, Ateng Super adalah varietas yang dibudidayakan di Aceh Tengah. Mas Yunan, dari Nuli Coffee, mungkin menyangka saya adalah coffee snob yang ingin mengajak berdebat. Tetapi, akhirnya pembicaraan kami cair saat Ukers berada di sela-sela obrolan. Buku tua itu, baru dua pekan saya baca. Mas Yunan sempat bilang, ada British Journal yang mengutarakan bahwa kopi di Indonesia, b

Kopi & Yang Sudah Selesai (10)

Pekan ini akhirnya selesai juga seri Kopi & Yang belum Selesai. Untuk episode terakhir seri Kopi, saya beri judul Kopi & Yang Sudah Selesai. Sesuai urutan dari seri 1 hingga 10, bisa dibaca juga. Saya beruntung bisa merasakan nikmat kopi, bertemu para penggila Kopi yang tak pelit ilmu, dan beberapa kali merasakan momen kenikmatan puncak bersama kopi yang saya teguk. Seri kopi ini bukan bermaksud sok tahu, tapi semuanya akan terjawab dalam episode terakhir.  Kalau sudah jadi bagian hidupmu, sudikah dirimu berbagi rasa bahagia, atau bahkan mencari momen yang tepat untuk menikmati kopimu? Saya sedang membuat film hidup saya sendiri. Saya membuat story boardnya, menyutradarainya dan sebagai tokoh utamanya. Tiap babak sangatlah penting, untuk menentukan, film macam apa yang saya buat. Campur tangan Tuhan bagaimana? Bagi saya, entitas maha agung itu yang memberikan banyak probabilitas, karena film kehidupan ini, tidak pernah memiliki naskah. Saat ini, anda sedang membac

Kopi & Yang Belum Selesai (9)

Andai saja, bahan plastik sekali pakai di kedai kopi tidak lagi digunakan, akan sangat berarti bagi lingkungan. Andai saja pengguna plastik sadar kalau plastik bisa dipakai berkali-kali. Andai, yang anti plastik bisa sadar, musuhnya itu bukan plastiknya, tapi cara manusia memperlakukan plastik. Apalah aku ini, semacam SJW baru 'meletek' saja. Beberapa kedai di Jakarta sudah memulainya satu tahun belakangan. Lalu baru-baru ini, Starbucks memulainya, dengan meniadakan sedotan plastik, yang ditargetkan pada 2020 nanti serentak di seluruh gerai di dunia. Walaupun ada protes bagi yang berkebutuhan khusus...solusinya sebenarnya lebih mudah, bawa sedotan sendiri yang bisa digunakan berulang-ulang. Kopi bisa kita nikmati juga karena tanah yang kita pijak mendukung kehadirannya. Sebagai penikmat jasa lingkungan, mungkin kita bisa lebih bijak, diawali dengan hal yang paling kecil. Minum tanpa sedotan. Dari lingkungan pula lah, kini terdapat seratusan varietas kopi di dunia.

Kopi & Yang Belum Selesai (8)

Malam yang dingin di Kota Takengon. Satu-satunya yang membuat bahagia jalan di kota ini adalah kedai kopinya. Bermacam-macam kopi specialty tersedia berikut variasi penyeduhannya. Kala matahari masih berpijar, kita bisa bahagia dengan bentang alamnya, dan ketika malam menjemput, obrolan demi obrolan menghiasi benak. Mengisi laci-laci kosong di dalam pikiran. Kabut turun pelan-pelan di jalan, lampu jejeran kedai masih terang, penanda hidupnya industri kopi di Takengon. Iwan Juni, bersama komunitas pegiat kopi Gayo, mengajak saya berkumpul, di sebuah kedai kopi. "Aduh, ini disimpan berapa lama? Kopi ini tengik sekali," Bang Iwan berbicara kepada salah satu barista yang menyuguhkan kopi di meja kami. Si Barista menjelaskan, baru satu bulan setelah dipanggang. Dipanggang itu padanan kata roasting. saat menyusun naskah dokumenter tentang Pasar Baru Kopi Gayo, yang akhirnya jadi dua episode dan selalu diputar di Fakultas Kopi, saya dan Nana Riskhi, produser progr

Kopi & Yang Belum Selesai (7)

Di Indonesia, Kopi itu akrab sekali dengan manusia. Dia yang berpeluh, telanjang dada menyajikan kopi untuk para pejabat daerah, bahan basa-basi seorang mafia sawit, persembahan untuk kepala adat, simbol gaya hidup kaum urban, teman melaut seorang menteri dan ... kopi lah yang tanpa disadari merasuk pikiran orang untuk mencintainya. Berulang kali saya katakan, saya tidak suka dengan kopi. Masih saja disuguhkan. Berulang kali pula saya katakan, tidak suka minuman manis, tetap saja datangnya gula-teh-manis. Itu satu tahun lalu. Sekarang juga tidak terlalu suka minuman manis. Tapi bagaimana dengan kopi? Saya bawa french press portable setiap hari. Kadang satu toples kecil isi kopi arabica Gayo, muncul di dalam tas saya. Sini mendekatlah, saya bisiki... "Kopi membuat saya tergila-gila akan keajaiban rasa dan aromanya," Bagaimana bisa tergila-gila? padahal satu tahun lalu, saya masih mual dan keringat dingin sehabis meneguk kopi... Begini, saya bisiki la

Mimpi Indah Dari Natuna

                                                                                    Sebelum memulai perjalanan ke Kabupaten Natuna di ujung utara Indonesia yang disebut ‘pulau terluar’ pada akhir pekan kemarin, saya punya istilah baru untuknya, yakni ‘pulau terdepan’. Merujuk pidato Presiden Joko Widodo, bahwa kita sudah terlalu lama ‘memunggungi laut’, padahal masa depan bangsa ada di sana. Jadi, tersisip semangat ketika menyebutnya dengan kata ‘terdepan’. Saya sudah membayangkan duduk di gugusan batu besar Alif Stone Park saat pesawat dari Bandara Internasional Hang Nadim Batam mulai terbang rendah untuk mendarat di Bandara Ranai Natuna setelah terbang selama 3 jam dari Jakarta. Dari atas pesawat sudah terlihat bebatuan hitam yang tersebar di sepanjang garis pantai berpasir putih, bak perhiasan yang mengundang untuk dijamah wisatawan. Tak hanya indah, salah satu pintu gerbang Nusantara ini juga memiliki potensi laut yang luar biasa. Dari Kementerian Kelautan dan Perik

Kopi & Yang Belum Selesai (6)

Mendadak hari itu mengejar Susi pudjiastuti, menteri kelautan dan perikanan. Saya sedang membuat satu episode dokumenter tentang perubahan iklim yang berdampak terhadap produksi garam nasional. Kementeriannya merekomendasikan impor garam untuk pemenuhan kebutuhan garam se Indonesia. Saya harus wawancara dia tentang itu, harus. Agendanya padat. Dia pergi ke Natuna bersama staffnya, meresmikan sekaligus sosialisasi tempat pengolahan ikan terpadu di Natuna. Sesaat setelah kami tiba, mampir sebentar ke sebuah rumah makan yang menyajikan hidangan khas Natuna, Ayam goreng rempah. Sebuah pulau yang menghadap langsung ke Laut Natuna Utara, jalur migrasi banyak jenis mahluk laut yang hasilnya melimpah, menyajikan mahluk darat. Tapi cukup sedap. staffnya mengajak kami langsung menyeberang ke Pulau Senoa. Dari Natuna, pulau itu terlihat seperti perempuan hamil yang sedang tidur. Sesungguhnya saya ikut bersama rombongan undangan wartawan, Karena saat saya tanya ke bagian humas unt

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (2)

Kalau dipikir, kemiringan jalannya sampai 60 derajat, saya sudah cemas, karena setelah tanjakan langsung tikungan, lalu turun curam dan berbelok di jalan yang mulai berlumpur. Apalagi yang bisa saya lakukan selain tertawa. Menertawakan hidup saya, yang jauh-jauh datang ke Papua hanya untuk menyetor nyawa. Saat itu, Trans Papua sedang dibangun. Cerita yang saya dengar, awalnya saat pembukaan jalur, TNI lah yang bergerak. Beberapa titik masih rawan. Kami sama-sama berdoa sambil bercanda di mobil. Wabah misterius itu merenggut puluhan nyawa anak-anak di Distrik Mbua. Media daring yang bagai kilat melaporkan 50an anak mati. Terlebih, saat itu sedang ramai pembicaraan tentang ebola. Persiapan kami menghadapi itu semua adalah: mengucap basmalah. Keselamatan memang jadi faktor utama. Kebutuhan logistik sudah tersedia, peralatan medis dasar juga sudah ada. Takdir membawa kami ke Distrik Mbua, untuk membukakan mata, siapapun yang ada di Jakarta. Saat mobil tiba di jalan keci

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (1)

Dua tahun lalu, pergi ke Papua itu sangat mahal, bahkan lebih mahal ketimbang berlibur ke Jepang. Kalau bukan karena penugasan dari rapat redaksional, saya tak mungkin bisa ke sana. Saat itu saya mengejar cerita tentang kematian misterius puluhan anak di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Saya masih ingat, penerbangan dari Jakarta, transit dahulu di Makassar, berlanjut menuju Manokwari, kemudian Jayapura, dan akhirnya tiba di Wamena. Bandaranya kala itu masih tradisional. Saya gambarkan seperti terminal bus era 90an. Tapi sekarang bandara yang baru sudah dibuka, setaraf dengan bandara-bandara di tempat saya dan tim, transit sebelum sampai Wamena. Pak Nico, driver kami menjemput dengan mobil yang memiliki spesifikasi tangguh di medan pegunungan. Kami mengisi bahan bakar dahulu. 20 liter bensin, seharga 2 juta rupiah. Saya dan kedua rekan langsung terkejut. Pegunungan di sekeliling menyembul, pamer keindahan. Saya tanyakan kepadanya, apakah dia bahagia tinggal d