Pendosa semacam diriku mana mungkin mendapatkan malam spesial itu yang konon hanya untuk orang suci tanpa dosa.
Ya kalau dipikir lagi, setiap manusia yang lahir di dunia ini sudah punya dosa.
Eh tunggu, bayi kan tidak berdosa? Ketika dia bernafas, karbon yang ia hasilkan sudah mengotori Bumi meski perbandingannya hanya nol koma sekian embusan untuk Bumi.
Dosa terhadap Bumi meski sulit untuk dihitung.
Adakah manusia yang tidak berdosa?
Jadi ya tidak ada orang yang benar-benar tidak berdosa.
Dosa lainnya adalah melakukan tindakan yang dilarang agama, yang juga sering manusia lakukan.
Atau dosa karena polah manusia yang terlalu sakti mandraguna merasa lebih dari yang lainnya sehingga bikin sengsara orang banyak? Ada juga kan dosa seperti itu.
Tentu yang menimbang bukan manusia, tapi Tuhan.
Saya pernah berpikir, otak kita terbatas untuk memikirkan bagaimana awal kehidupan ini dibentuk, sehingga Tuhan itu ‘eksis’.
Tangan kita memang bisa mengubah pasir jadi cermin, tapi…
Apakah bisa menghidupkan cermin?
Sesuatu yang ilmu pengetahuan belum bisa dijelaskan adalah perkara eksistensi Tuhan.
Dan lewat apa yang saya percayai, dengan segala keterbatasan saya, Tuhan hadir dalam setiap kebajikan.
Tuhan hadir dalam setiap kenikmatan dan kesengsaraan yang kita alami.
Tempat kita meminta rasa aman.
Saya tidak tahu apakah ini yang dimaksud malam seribu bulan yang saya nantikan seumur hidup.
Setiap bulan Ramadan, mencoba berperilaku sebaik-baiknya seolah hidup saya hanya dinilai pada bulan itu.
Saya tidak tahu apakah perbuatan yang disebut baik itu diterima?
Namun, suatu malam, saya bermimpi aneh sekali, lalu terbangun sampai berteriak Allahuakbar.
Mengapa saya selalu mengingat namanya ketika sedang merasa terancam dalam keadaan sadar atau bahkan hanya di dalam mimpi.
Saya pikir karena doktrin sejak kecil itulah yang membuat saya sebegitunya bergantung dengan yang maha esa.
Ternyata tidak, saya butuh dia. Dunia tanpa Tuhan bagi saya mungkin tidak akan sama lagi.
Comments
Post a Comment