Skip to main content

Beijing yang tak terduga, dari Google hingga membuang dahak sembarangan





Kota dengan kabut polusi seperti yang digambarkan media. Sumber malapetaka dunia dengan sampah dan populasinya, negara dengan intranet terbesar di dunia, namun saat menginjakkan kaki di Beijing, semua pandangan itu berubah, kita bisa temukan semuanya di Beijing.


Dini hari, saya tiba di Bandara, bertemu Andreas Trijaya, travel mate saya saat di Beijing, dia punya waktu 3 hari di kota itu sebelum kembali ke Jakarta.

3 hari sebelumnya dia telah menjelajah Harbin, kota yang berbatasan dengan Rusia. Tidak henti-hentinya dia berbicara tentang betapa murahnya makanan di Harbin, atau saat sungai membeku dan dia turun ke sana.

Sambangi juga:
Kami bertemu di Starbucks, lalu memutuskan untuk keluar bandara mencari tempat merokok.

Orang-orang kebanyakan merokok seenaknya bahkan selangkah setelah pintu keluar bandara, padahal tempat merokok ada di seberangnya.

Tak lama, kami memutuskan untuk ke stasiun kereta terdekat. Karena kereta menuju kota belum beroperasi pada pukul 2.00 dini hari, kami naik bus menuju Stasiun Beijing.



Udara pertengahan Maret cukup dingin, namun kalau dibandingkan tahun lalu, pada 2019 ini bisa dikatakan lebih hangat.

Meski menghangat, saya dan banyak orang di Beijing menggunakan jaket tebal.

Sesampai di Stasiun Beijing, lusinan pengemudi taksi menghampiri, menawarkan jasanya dengan bahasa mandarin, penting bagi kita di Beijing untuk berkata tidak, minimal menunjukkan gestur tidak setuju dengan tawaran apapun di luar anggaran.

Saya lebih memilih untuk mawas diri, ketimbang lengah, karena persepsi saya awalnya sangat buruk dengan kota ini.

Sambangi juga:
Tentang internet, Cina memiliki sistem Intranet yang mengakomodir penduduknya. Negara itu memagari dirinya dari pengaruh asing demi stabilitas sosial dan terutama keamanan.

Berkaca saat Arab Spring, 2011 lalu, ketika beberapa negara di timur tengah bergejolak yang dipicu oleh media sosial, Cina melindungi dirinya dengan wechat yang bisa memfasilitasi komunikasi digital warganya, dengan kendali dan pengawasan penuh negara.

Jadi, jika internet kita terkoneksi lewat paket roaming dari negara asal atau menggunakan wifi publik dengan VPN, kita masih bisa mengakses google.

Tetapi, wifi bandara menggunakan login wechat dan aplikasi VPN tidak berfungsi. Penting bagi kita yang ingin ke Beijing untuk download aplikasi free VPN sebanyak-banyaknya, dan wechat terutama.

Teman saya, Christine dan suaminya adalah Beijingers sejati. Dia punya selusin aplikasi VPN untuk bisa berkomunkasi dengan orang-orang di luar Cina, termasuk saya. Saran saya, unduh aplikasi VPN sebanyak-banyaknya sebelum ke Cina.

Ketika kita, penduduk dunia jadi google driven, Cina justru tak acuh dengan google.

Masih dini hari, saya dan Andreas mampir sebentar ke restoran yang buka 24 jam. Menyediakan semangkuk besar mie.

Setelah itu, kami menunggu sampai stasiun buka pada pukul 5.00, dan melanjutkan perjalanan menuju Tianamen Square.


Saya mau menyaksikan bagaimana pengibaran bendera di sana, bisa sangat atraktif bagi para pendatang.

Kami antre hampir 30 menit sebelum masuk kawasan Tianaman Square. Pengecekan identitas dan barang bawaan wajib dilakukan.

Turis-turis lokal datang bersama rombongan tur, dan perorangan.

Mereka berasal dari luar Bejing, datang saat langit masih gelap demi melihat pengibaran bendera yang berlangsung hanya sesaat.

Saya sempat tanyakan kepada para expat, mengapa mereka begitu cintanya melihat pengibaran bendera?

Then they answered: "China more likely North Korea with Mosques."

It's quite interesting for me because in my country people will come for raising flag ceremony only for our independent day, and here in Tianamen Square people are coming from another region everyday.

Doktrin yang diberikan penguasa sungguh bekerja. Pemerintahan otoritatif untuk mengatur 1,8 miliar orang adalah satu-satunya jalan keluar. Ingat, Cina juga punya banyak suku.

Pagi itu pengibaran bendera berlangsung, orang-orang antusias mengabadikan momen itu dengan ponsel mereka.

Setelahnya, kami jalan menuju Qianmen Avenue, sebuah pusat ekonomi baru untuk menarik minat turis datang dan buang-buang cuan.



Di sanalah kami menginap. Qianmen Avenue awalnya sebuah jalan yang kumuh dan sempit, lokasinya berdekatan dengan Tianamen Square. Karena itulah pemerintah merombak total jalan itu dan mengubahnya menjadi komplek belanja dengan ornamen bagunan bergaya klasik.

Meski terkesan buatan, namun saya suka dengan jalanan yang terbilang rapih.

Di San Francisco, turis memilih datang ke Chinatown untuk mendapatkan oleh-oleh dengan harga super murah, termasuk makanan.

Di beberapa negara yang saya singgahi, kalau uang mulai menipis, saya tak ragu ke Chinatown untuk mencari makanan porsi jumbo dan tentu saja murah.

Di Indonesia, Chinatown juga ada di beberapa kota termasuk Jakarta. Kawasan Pecinan di Glodok misal.

Kesemua Chinatown yang saya sambangi itu punya ciri khas bangunan dengan onamen kayu berukir, lampu neon berwarna, lampion merah, dan semua ehm...tentunya serba merah.

Tapi, yang paling khas kesan kumuh, kusam, lawas dan dan jorok ada di sana.

Nah, Qianmen Avenue mengubah semua pandangan itu. Mungkin bisa jadi benchmark nantinya, kala Chinatown di banyak negara jadi lebih rapih.

Sambil jalan, beberapa kali saya mengeluh karena banyak, banyaaaak sekali orang yang meludah, mengeluarkan dahak sembarangan.

Oh shit, I can't ngemper seenak jidat nih. Semakin jauh melangkah jalan makin sempit, lalu mulailah terbuka tabir kesemrmrawutan itu.


Saya cukupkan waktu untuk tidur hingga pukul 15.00. Karena apa? Harus jalan kaki ke Temple of Heaven, yang berjarak sekitar 2 km dari penginapan.

Sayangnya sudah sore dan kuilnya tutup, akhirnya kami hanya bisa berkeliling di taman, mendengarkan kicau burung, samar-samar terdengar sang gagak, lalu disambut suara angin menggesek daun-semacam-pinus-dengan-nama-belakang-orientalis.

Kami menghabiskan hiruk pikuk malam di Qianmen Avenue, yang ternyata sepi jika malam tiba.

Esok harinya kami pergi ke great wall. Akses terdekat adalah Badaling. Bisa naik Bus, yang mengantarkan kita sampai pintu gerbang masuk taman nasional.



Sepanjang perjalanan, beberapa bagian tembok sudah diperbaiki dan dikelola swasta, bahkan 'me-modern-kan' tembok itu.

Di Badaling, bentuknya masih asli meski sudah direkonstruksi.

Ada dua pilihan jalan, ke kiri lebih sepi dan curam, yang kanan landai dan ramai. Pesan kami, ke kanan dahulu, baru ke kiri.

Orang-orang yang datang juga cukup tahu diri, karena situs bersejarah, tidak ada yang merokok dan membuang ludah.

Saya sempat melamun, sejarah panjang beberapa dinasti dan penguasa dengan tembok ini beserta perang tak berkesudahan, tembok ini juga dibangun di atas tulang belulang para pekerja zaman dahulu.


I can't believe I walked through the great wall. Gambar tembok raksasa yang sejak kecil saya lihat di buku pintarnya Iwan Gayo, yang jadi 7 keajaiban dunia, kini saya tapaki.

Meski cukup lelah, menaiki tanjakan, ketika lihat para manula berjalan dengan santai, lenyap semua lelah itu.

Udaranya masih dingin, paling hangat sekitar 10 derajat celcius, anginnya membuat badan gemetar kedinginan.

Ternyata petualangannya bukan di tempok raksasa.

The adventure begin when we tried Beijing public transportation.

Pergi ke banyak tempat dalam 1 hari

Man, I've spent million to be here, so I tried not to waste my time.

Petualangan di sebuah kota bagi saya adalah tantangan ke banyak tempat dengan transportasi publiknya, jalan kaki, dan membuat target.



Pada dasarnya saya dan Andreas tak banyak lakukan riset. Karena di Jakarta sudah browsing beberapa tempat yang harus-wajib-mandatory untuk disambangi.

Saya lebih suka membaca travelblog yang didapat secara acak saat googling, yang paling penting adalah: Bagaimana caranya bisa ke suatu tujuan. Ini benar-benar harus dilakukan untuk menghemat waktu dan anggaran.

Selebihnya, tulisan-tulisan di lonely planet, trip advisor dan sejenisnya saya hindari.

Mengapa? Saya pernah membaca tulisan-tulisan itu, dan hasilnya? Saya malah kebingungan dan menciptakan ketakutan berlebihan.

Ikuti kebiasaan lokal, bisa ditanyakan kepada pemilik hotel. Jika hotel anda berbintang, bisa juga tanyakan kepada resepsionis dan bahkan bellboy.

Pakailah logika begini: malam hari di manapun bisa sangat berbahaya, contohlah Praha, angka kriminal tinggi, jadi saya putuskan untuk kembali ke penginapan sebelum gelap.

Atau adaptasi terlebih dahulu, lihat sekeliling, jika dirasa aman, ya tak apa keluar malam sendirian, nanti akan saya ceritakan dalam postingan lain, secepatnya, jika pekerjaan selesai.

Jika bingung transportasi menuju hotel dan kadang google tidak dapat menemukan lokasinya, langsung tanyakan kepada pihak hotel how to get there, biasanya saya email terlebih dahulu 2 atau 1 hari sebelum keberangkatan.

Jika bahasa yang jadi kendala, gunakan foto papan nama hotel atau suatu tempat dalam bahasa lokal, yang bisa ditanyakan dengan bahasa isyarat kepada orang-orang di suatu kota.

Jika bisa mengakses aplikasi translation, akan sangat berguna.

Peta! Iya, bawa peta. Google maps yang saya gunakan online maupun offline beberapa kali justru bego, saya disuruh jalan kaki ke jalan tol lah, atau bahkan reroute berkali-kali padahal tinggal belok sedikit. Biasanya tempat-tempat yang tourist friendly menyediakan peta jelajah kota atau tujuan wisata. Kalau di Indonesia, Yogyakarta sudah ada!

Peta lainnya adalah rute transportasi umum, di Beijing, jalur subwah adalah pilihan paling tepat, selain murah, mudah dimengerti, dan berbahasa inggris.



Ada belasan jalur yang saling bertemu dari ujung ke ujung, membuat loop satu sama lainnya.

Jadi, ketika sudah menemukan tujuannya, carilah rute yang bisa digunakan, stasiun mana tempat pergantian jalur. Di Jakarta, bisa dicoba lewat TransJakarta, meski waktunya tak presisi.

Jadi setelah dari Badaling yang memakan waktu 1-2 jam (kurang lebih) menuju terminal bus, kami langsung ke stasiun kereta.

Akhirnya kami putuskan ke Wang Fu Jing night market tempat segala makanan aneh berada.

Saya tidak mau makan yang aneh-aneh, menghindari risiko sakit saat liburan apalagi di negeri orang.

Makanan yang saya maksud...begini, saya pemakan segalanya, namun tidak dengan yang satu ini.



Akhirnya saya memilih stroberi berbalut karamel. Entah kenapa, stroberi di Cina dan Jepang rasanya manis, dan besar-besar.



Andreas yang hanya memiliki waktu 1 hari lagi di Beijing ingin ke Bird's nest, Stadion dan komplek olahraga tempat perhelatan Olimpiade Beijing 2008 lalu.

30 menit kemudian, sampailah kami di suasana gemerlap komplek olahraga.



Dia terpesona dengan gemerlap lampu-lampu Bird's nest, atau bahkan The Cube arena berenang yang juga dibangun bersamaan dengan stadion.




Tetapi saya ingin ke sana saat pagi atau bahkan siang hari.

Untuk melihat lebih jelas, apakah berita-berita di media benar adanya? Semua fasilitas olahraga yang dibangun dengan dana $ 480 juta dan baru bisa dilunasi dalam kurun waktu 3 dekade terabaikan?

Padahal beberapa tahun mendatang komplek olahraga yang jadi simbol modernisasi Cina itu akan kedatangan atlet seluruh dunia dalam perhelatan Olimpiade Musim Dingin.

Oh GBK ku kau tak kalah megahnya!

Hari ketiga lebih ambisius, kami putuskan untuk ke Forbidden City, Bird's nest lagi, Sumer Palace dan Temple of Heaven sebelum pukul 16.00.

Apakah berhasil? Selanjutnya akan diulas dibagian kedua.



















Comments

Popular posts from this blog

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (1)

Dua tahun lalu, pergi ke Papua itu sangat mahal, bahkan lebih mahal ketimbang berlibur ke Jepang. Kalau bukan karena penugasan dari rapat redaksional, saya tak mungkin bisa ke sana. Saat itu saya mengejar cerita tentang kematian misterius puluhan anak di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Saya masih ingat, penerbangan dari Jakarta, transit dahulu di Makassar, berlanjut menuju Manokwari, kemudian Jayapura, dan akhirnya tiba di Wamena. Bandaranya kala itu masih tradisional. Saya gambarkan seperti terminal bus era 90an. Tapi sekarang bandara yang baru sudah dibuka, setaraf dengan bandara-bandara di tempat saya dan tim, transit sebelum sampai Wamena. Pak Nico, driver kami menjemput dengan mobil yang memiliki spesifikasi tangguh di medan pegunungan. Kami mengisi bahan bakar dahulu. 20 liter bensin, seharga 2 juta rupiah. Saya dan kedua rekan langsung terkejut. Pegunungan di sekeliling menyembul, pamer keindahan. Saya tanyakan kepadanya, apakah dia bahagia tinggal d

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (2)

Kalau dipikir, kemiringan jalannya sampai 60 derajat, saya sudah cemas, karena setelah tanjakan langsung tikungan, lalu turun curam dan berbelok di jalan yang mulai berlumpur. Apalagi yang bisa saya lakukan selain tertawa. Menertawakan hidup saya, yang jauh-jauh datang ke Papua hanya untuk menyetor nyawa. Saat itu, Trans Papua sedang dibangun. Cerita yang saya dengar, awalnya saat pembukaan jalur, TNI lah yang bergerak. Beberapa titik masih rawan. Kami sama-sama berdoa sambil bercanda di mobil. Wabah misterius itu merenggut puluhan nyawa anak-anak di Distrik Mbua. Media daring yang bagai kilat melaporkan 50an anak mati. Terlebih, saat itu sedang ramai pembicaraan tentang ebola. Persiapan kami menghadapi itu semua adalah: mengucap basmalah. Keselamatan memang jadi faktor utama. Kebutuhan logistik sudah tersedia, peralatan medis dasar juga sudah ada. Takdir membawa kami ke Distrik Mbua, untuk membukakan mata, siapapun yang ada di Jakarta. Saat mobil tiba di jalan keci

At the end of pandemic? A moment of new fresh air?

Ada di pertengahan film menuju klimaks atau ketika akhir di sebuah cerita ketika si tokoh utama memulai babak baru hidupnya. Dia berjalan dengan sangat meyakinkan meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.  Karena itu film dan dengan sengaja saya sering mencari momen new fresh air itu. Movies I watched did a great job to manipulate my inner child to find my own new fresh air moment. I did it everytime I have new project and finished, again and again, it was like a pattern of my work cycle.  A bit new fresh air isn't? Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa PPKM sudah dicabut, seharusnya menjadi momen 'a new fresh air' tapi bagi saya kok terasa hampa. Ada perasaan aneh ketika mengingat betapa pahit dan sekaligus manis kehidupan yang saya alami pada 2020 lalu.  Sepulang dari Taiwan pada Februari 2020 lalu, saya baru memahami bahwa pandemi global ini adalah kenyataan yang saya harus terima. Penyakit misterius yang belum ada obatnya dan seketika dunia menjadi sepi.  B