Skip to main content

Katowice, kegagalan menghadapi pemanasan global


Kalau semua orang di dunia ini berhenti menggunakan listrik lalu pergi ke mana-mana jalan kaki, mungkin pemanasan global tidak akan terjadi, setidaknya untuk dua atau tiga generasi lagi. Mungkin.

Nyatanya, 7,53 miliar manusia tidak mungkin tidak membutuhkan ‘energi’ setiap detiknya.
Bahkan dalam keadaan tidur.

Misal, saya menggunakan laptop untuk menulis blog ini, termasuk lampu dan kipas angin di kamar dalam keadaan hidup beberapa jam, saya mengeluarkan energi yang dihasilkan dari…ehm, batu bara di PLTU. 

Berapa besarannya? 1 ton batu bara bisa menghasilkan 2.460 kWh. Bukan banyaknya batubara yag dibutuhkan, namun berapa banyak polusi yang dihasilkan hingga menimbulkan efek rumah kaca dan berdampak pada suhu permukaan bumi?

Kira-kira jika lampu LED 9 watt saya hidupkan selama delapan jam setiap harinya saya ikut menghasilkan CO2 sebanyak 22,23 kg. kalau dikalikan 7,53 miliar, angkanya besar sekali, hutan di Kalimantan pun tidak bisa menyerap CO2 sebanyak itu.

Belakang saya adalah tumpukan batubara yang digunakan sebagai sumber energi di Katowice

Belum energi lainnya yang dihasilkan dari kipas angin, laptop, televisi, AC, apa lagi? Oh ponsel yang sedang isi baterai, lampu penerang jalan, pengeras suara yang mengeluarkan suara lagu-lagu favorit anda, lemari es, kompor listrik…

Belum lagi gas buang kendaraan yang kita gunakan setiap hari, mulai dari bus sampai mobil pribadi.

Semua kegiatan manusia berisiko menghancurkan bumi, kalau tidak ada usaha secara global, ya kita tinggal tunggu kiamat.

Sejak dua abad lalu manusia gegap gempita dengan energi yang dihasilkan batubara. Tidak butuh waktu panjang untuk meghancurkan bumi, kreasi ratusan juta tahun bisa lenyap dalam waktu puluhan tahun.

Tidak mungkin juga tidak mengakomodir kebutuhan energi 7,53 miliar manusia. Cara paling masuk akal adalah mencari alternatif sumber energi yang lebih ramah lingkungan. 

Tapi nyatanya, mengganti batubara dengan sumber energi lain tidak semudah itu.

Kita bicara tentang inisatif global, bukan usaha satu negara atau perorangan. Polusi yang Amerika Serikat hasilkan berdampak kepada hutan di Indonesia. Kebakaran hutan di Indonesia berdampak kepada suhu udara di permukaan bumi yang juga dirasakan oleh orang-orang di Katowice, misal. 

 Karena kita hidup di bawah langit yang sama.


Maka itu semua Negara perlu dipertemukan. Konferensi tentang perubahan iklim yang diselenggarakan PBB sudah Sampai pada tahun ke 24, COP atau Confrence of Parties, pada 2018 bertempat di Katowice, Polandia.



Ada hampir 200 negara yang berpartisipasi dalam konferensi ini. Gampangnya, masing-masing Negara mengumpulkan gol dan perencanaannya lewat kebijakan yang dibuat sesuai kesepakatan Paris atau Paris Agreement.

Satu kunci utama kesepakatan Paris adalah menekan kenaikan suhu permukaan bumi tidak lebih dari 2 derajat celcius hingga 2030 mendatang. Tujuan itu dideklarasikan oleh masing-masing Negara yang menyetujuinya. Indonesia contohnya sudah berjanji di depan Konferensi saat di Paris 2015 lalu, turut andil untuk mengurangi emisi sebesar 29%.

Simak juga:

Untuk itu diperlukan NDC (National Determined Contribution). Di laman daring KLHK sudah ada dan bisa dibaca. The problem is, you can’t fix the problem with single snap, pada 2030 nanti, 35% energinya bersumber kepada energi baru dan terbarukan yang menghasilkan emisi lebih sedikit daripada batubara. 

Tapi maaf, ketika melihat perencanaan itu, tidak ada langkah konkretnya. 

Bahkan menteri ESDM, Ignatius Jonan pesimistis target energy terbarukan 23% pada 2025 tercapai.

Alasannya investasi pembangkit energi terbarukan masih mahal, berimbas pada tarif listrik.

Sektor transportasi, mix BBM yang sudah dilakukan seperti solar dicampur biodiesel, namun besin dan etanol sukar dilakukan karena bersinggungan dengan kepentingan pangan, belum ada kebijakan mendorong pertanian untuk sektor energi.

Alternatif yang bisa ditawarkan Jonan adalah panas bumi, tenaga air, dan surya.

Jadi jangan mimpi dulu punya mobil listrik dan klaim telah mengurangi polusi. Masih sama jumlahnya, karena listrik yang dibutuhkan sebuah kendaraan masih bersumber dari batubara.

Itu baru Indonesia, bagaimana seratus Negara lainnya? Oh tentu punya kebijakan yang berbeda. Masalahnya macam-macam, mulai dari Fiji yang terancam tenggelam, Amerika Serikat yang mundur dari COP dan barang tentu, konferensi yang digelar itu tidak menyepakati apa-apa selain persiapan untuk tahun 2020, menyiapkan langkah 10 tahun ke depan agar suhu bumi bisa ditekan turun.

Tetapi menurut saya, kegagalan besar ketika ribuan orang dengan jejak karbonnya berkumpul di Katowice, Polandia, sebuah Negara yang juga masih mengandalkan batubara sebagai sumber energinya.

Mereka berdebat tentang angka. Mereka berdebat untuk tidak sepakat antara 1,5 atau 2 derajat celcius kenaikan suhu bumi yang harus diantisipasi. 

Pegiat lingkungan Al Gore yang datang ke Katowice dan sempat mampir ke Pavilion Indonesia berpesan: “butuh political will untuk mengatasi krisis iklim global,” lebih jauh lagi, mantan wakil residen AS itu berpesan agar dunia harus bisa meninggalkan batubara.

Simak video pesan Al Gore untuk Indonesia

Jadi memang butuh orang-orang politik yang paham tetang pemanasan global. Cina contohnya. 

2013 lalu, Negara itu berkomitmen mengurangi dampak pemanasan global dengan membuat kebijakan paling mudah: mencari sumber energi alternatif dan memberikan insentif bagi siapapun yang mau hijrah mengganti kendaraan berbahan bakar minyak menjadi listrik.

Cina mengklaim berhasil, meski indeks CO2 masih tertinggi, secara real time bisa dilihat di windy.com.

Dalam COP24, setiap hari saya harus jalan kaki dari penginapan menuju Spodex, tempat konferensi digelar. 

Melawan kemalasan tidur di kamar hotel berselimut tebal, dan berpenghangat.

Keluar dan berjalan kaki sejuah 1 km, ditemani salju dan buah apel, kadang vodka dengan kadar alkohol 45%.



Salju turun saat acara itu berlangsung. Berbagai macam diskusi diutarakan, mulai dari dialog adat, sampai kebutuhan paling mendesak yakni menyepakati pengurangan penggunaan batubara.

Konservasi hutan jadi tidak seksi jika bicara tentang energi karena luasan hutan di dunia sudah tak mampu lagi menyeimbangkan karbon yang terlepas di udara.

Saya mulai sadar, jika hutan yang kita bangga-banggakan selama ini, sudah tidak mampu lagi menahan karbon yang kita hasilkan setiap hari.

Here’s the thing. Kita cuma punya waktu 12 tahun untuk menanggulangi kenaikan suhu perukaan bumi yang mencapai 1,5 derajat celcius. 

Dampak kenaikan suhu itu banyak. Gagal panen, artinya stok pangan terbatas, kenaikan permukaan air laut sebabkan banyak pulau di Indonesia terancam tenggelam, munculnya penyakit akibat bumi semakin banyak, dan imbas lainnya yang mungkin akan kita rasakan dalam waktu dekat, atau sekarang mungkin bisa kita rasakan.

Saya sebut itu sebagai silent killer. Posisi Indonesia itu sangat penting, sebagai negara penghasil karbon kelima terbesar di dunia. 



Sudah hutannya makin tipis (meski perlu diakui klaim KLHK mengindikasikan penurunan angka deforestasi). Indonesia tetaplah menghasilkan karbon hingga 477 juta ton, dalam sektor agrikultur dan turunannya. Data ini berasal dari Global Forest Watch.

Sialnya, pada Maret 2019, Menkomaritim Luhut Binsar Pandjaitan ancam akan keluar dari Paris Agreement karena diskrimniasi sawit Eropa.

Eh, bagaimana?

Seperti dikutip dari alinea.id, Pengampanye Keadilan Iklim Eksekutif nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yuyun Harmono mengatakan, ancaman Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan hanya mewakili kepentingan korporasi sawit.
"Reaksi itu tindakan serempangan dan keliru apa disampaikan menteri koordinator kemaritiman. Ini kontradiktif. Itu mewakili korporasi sawit," kata Yuyun dalam konferensi pers di kantor Walhi, Jakarta, Jumat (29/3).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengancam akan keluar dari kesepakatan paris bila Uni Eropa tetap melanjutkan pengurangan minyak kelapa sawit.

Ancaman Luhut Binsar Panjaitan itu lantaran berang dengan sikap Uni Eropa (UE) yang terkesan mendiskriminasi produk sawit Indonesia. UE menargetkan penurunan bertahap pemakaian biofeul dari minyak sawit hingga 0% tahun 2030.

Kembali ke bulan Desember 2018, saat saya temui Pak Luhut di Katowice, dia percaya diri bahwa target mix energy pada 2030 akan tercapai, paparannya hingga 2018 sudah tercapai kurang lebih 15%, sehingga mengejar 75% lagi tidaklah sulit.

Ternyata sulit.

Apa yang bisa kita lakukan?


Usahlah kau risau Ferguso, usahlah kau bimbang Maria. Jalan paling mudah adalah mengurangi pemakaian listrik. Hemat energi hemat biaya, itu kata iklan layanan masyarakat yang terngiang-ngiang di benak. 



Hemat energi juga bisa menyelamatkan bumi jika dilakukan secara kolektif. Earth hour contohnya. Sudahlah jangan kau rayakan euphorianya. Pahami jika energi itu kita gunakan dengan bijak, mungkin kenaikan suhu bumi bisa diperlambat.

Target utama ialah memotong anggaran listrik jadi 50% setiap bulannya. Saya yakin bisa. Mulailah cermat menghitung energi yang kita gunakan. Untuk menghitungnya, bisa diakses di energyusecalculator.com.

Kita bisa memperlambat laju kenaikan suhu permukaan bumi, namun tak bisa mencegahnya terjadi.

Anda juga bisa melihat video berjudul: Teka-Teki Cuaca Dari Katowice, klik di sini


Comments

Popular posts from this blog

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (1)

Dua tahun lalu, pergi ke Papua itu sangat mahal, bahkan lebih mahal ketimbang berlibur ke Jepang. Kalau bukan karena penugasan dari rapat redaksional, saya tak mungkin bisa ke sana. Saat itu saya mengejar cerita tentang kematian misterius puluhan anak di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Saya masih ingat, penerbangan dari Jakarta, transit dahulu di Makassar, berlanjut menuju Manokwari, kemudian Jayapura, dan akhirnya tiba di Wamena. Bandaranya kala itu masih tradisional. Saya gambarkan seperti terminal bus era 90an. Tapi sekarang bandara yang baru sudah dibuka, setaraf dengan bandara-bandara di tempat saya dan tim, transit sebelum sampai Wamena. Pak Nico, driver kami menjemput dengan mobil yang memiliki spesifikasi tangguh di medan pegunungan. Kami mengisi bahan bakar dahulu. 20 liter bensin, seharga 2 juta rupiah. Saya dan kedua rekan langsung terkejut. Pegunungan di sekeliling menyembul, pamer keindahan. Saya tanyakan kepadanya, apakah dia bahagia tinggal d

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (2)

Kalau dipikir, kemiringan jalannya sampai 60 derajat, saya sudah cemas, karena setelah tanjakan langsung tikungan, lalu turun curam dan berbelok di jalan yang mulai berlumpur. Apalagi yang bisa saya lakukan selain tertawa. Menertawakan hidup saya, yang jauh-jauh datang ke Papua hanya untuk menyetor nyawa. Saat itu, Trans Papua sedang dibangun. Cerita yang saya dengar, awalnya saat pembukaan jalur, TNI lah yang bergerak. Beberapa titik masih rawan. Kami sama-sama berdoa sambil bercanda di mobil. Wabah misterius itu merenggut puluhan nyawa anak-anak di Distrik Mbua. Media daring yang bagai kilat melaporkan 50an anak mati. Terlebih, saat itu sedang ramai pembicaraan tentang ebola. Persiapan kami menghadapi itu semua adalah: mengucap basmalah. Keselamatan memang jadi faktor utama. Kebutuhan logistik sudah tersedia, peralatan medis dasar juga sudah ada. Takdir membawa kami ke Distrik Mbua, untuk membukakan mata, siapapun yang ada di Jakarta. Saat mobil tiba di jalan keci

At the end of pandemic? A moment of new fresh air?

Ada di pertengahan film menuju klimaks atau ketika akhir di sebuah cerita ketika si tokoh utama memulai babak baru hidupnya. Dia berjalan dengan sangat meyakinkan meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.  Karena itu film dan dengan sengaja saya sering mencari momen new fresh air itu. Movies I watched did a great job to manipulate my inner child to find my own new fresh air moment. I did it everytime I have new project and finished, again and again, it was like a pattern of my work cycle.  A bit new fresh air isn't? Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa PPKM sudah dicabut, seharusnya menjadi momen 'a new fresh air' tapi bagi saya kok terasa hampa. Ada perasaan aneh ketika mengingat betapa pahit dan sekaligus manis kehidupan yang saya alami pada 2020 lalu.  Sepulang dari Taiwan pada Februari 2020 lalu, saya baru memahami bahwa pandemi global ini adalah kenyataan yang saya harus terima. Penyakit misterius yang belum ada obatnya dan seketika dunia menjadi sepi.  B